Selasa, 09 Februari 2016

Ceramah Putra Syeikh ‘Abdulqâdir Al-Jailânî




Syeikh ‘Abdulqâdir Al-Jailânî bila berceramah menggunakan bahasa yang sangat sederhana.  Anak beliau yang telah banyak menuntut ilmu dan gemar berceramah berkata dalam hati, “Jika aku diizinkan berceramah, tentu akan lebih banyak orang yang menangis.”  Suatu hari Syeikh ‘Abdulqâdir Al-Jailânî ingin mendidik anaknya.  Ia berkata kepadanya, “Wahai anakku, berdiri dan berceramahlah.”  Si anak kemudian berceramah dengan sangat bagus.  Namun, tidak ada seorang pun yang menangis dan merasa khusyu’.  Mereka bahkan bosan mendengar ceramahnya.  Setelah anaknya selesai berceramah Syeikh ‘Abdulqâdir naik ke mimbar lalu berkata, “Para hadirin, tadi malam, isteriku, ummul fuqorô`, menghidangkan ayam pangang yang sangat lezat, tapi tiba-tiba seekor kucing datang dan memakannya.”  Mendengar ucapan ini, para hadirin menangis dan menjerit.  Si anak berkata, “Aneh…, aku bacakan kepada mereka ayat-ayat Quran, hadis-hadis Nabi, syair dan berbagai akhbâr, tidak ada seorang pun yang menangis.  Tapi, ketika ayahku menyampaikan ucapan yang tidak ada artinya, mereka justru menangis.  Sungguh aneh, apa sebabnya?”.
Hikmah di Balik Kisah
Habib ‘Umar bin Hafidz berkata:
Inti ceramah bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada kesucian hati dan sifat shidq si pembicara.  Sewaktu Sayidina Jailani berbicara, para hadirin menangis karena mengartikan kucing dalam cerita beliau sebagai setan yang mencuri amal anak cucu Adam dengan cara menimbulkan sikap riya, ujub dan sombong.  Ada yang menangis karena mengibaratkan cerita itu dengan keadaansû-ul khôtimah, yakni ia membayangkan seseorang yang memiliki amal sangat banyak, tapi usianya berakhir dengan sû-ul khôtimah.  Mereka semua menangis dan merasa takut kepada Allâh hanya karena ucapan biasa.  Sesungguhnya ucapan itu telah membuat mereka berpikir, menerbitkan cahaya di hati mereka, berkat cahaya yang memancar dari hati Syeikh ‘Abdulqâdir Al-Jailânî.
Kita juga mendengar bahwa kesan yang ditimbulkan oleh ucapan-ucapan Habîb ‘Alwî bin Syihâbuddîn sangat kuat, padahal beliau bicara dengan bahasa yang sangat sederhana.  Walau beliau hanya berbicara, “Lihatlah keadaan kita ini, bagaimana amal kita?” Namun, ucapan beliau ini menghunjam ke dalam hati pendengarnya dan meninggalkan kesan sangat dalam.  Sehingga mereka menangis, menjadi khusyu’ dan bertobat kepada Allâh.  Semua ini karena sifat shidq dan keikhlasan beliau.
Jadi yang paling banyak memberikan manfaat adalah sikap shidq dan ikhlas.  Kita boleh saja membiasakan diri untuk berceramah, memilih ucapan yang dapat dipahami, yang baik dan bagus, mempelajari berbagai buku dan menyimak ceramah para khotib dan ucapan ~ kalâm ~ kaum arifin.  Namun, kita harus bersandar kepada Allâh Ta’âlâ, memohon kepada-Nya agar dapat bersikap shidqdan ikhlas.
Habib Muhammad bin ‘Abdullâh Al-‘Aidarûs berkata:
Ucapan akan muncul sesuai dengan keadaan batin pembicara: tenang ataupun gelisah.  Sebab, keadaan batin mempunyai hubungan sangat erat dengan kata-kata yang dituturkan.  Bukankah kamu pernah melihat seseorang berbicara kepada temannya dengan kalimat yang pada lahirnya kasar dan buruk, tapi karena muncul dari jiwa yang baik, maka ucapannya tadi tidak berpengaruh, atau tidak memberikan kesan buruk kepadanya.  Ucapan semacam ini, jika keluar dari jiwa yang penuh gejolak dan hati yang buruk akan menggerakkan dan membangkitkan keburukan dari lawan bicaranya.  Oleh karena itu, pada saat berbicara hendaknya manusia memperhatikan keadaan jiwanya ataupun suasana hati orang lain agar tercapai kebaikan dan ketenangan.  Betapa indah ucapan Sayidina ‘Alî kwh ketika menjelaskan rahasia ucapan:
مَغْرَسُ الْكَلاَمِ اَلْقَلْبُ، وَمُسْتَوْدَعُهُ الْفِكْرُ، وَمُقَوِّيْهِ الْعَقْلُ، وَمُبْدِيْهِ اللِّسَانُ، وَجِسْمُهُ الْحُرُوْفُ، وَرُوْحُهُ الْمَعْنَى، وَحِلْيَتُهُ اْلإِعْرَابُ، وَنِظَامُهُ الصَّوَابُ
Wadah (lahan) ucapan adalah hati, gudangnya adalah pikiran (fikr), penguatnya adalah akal, pengungkapnya adalah lisan, jasadnya adalah huruf, ruhnya adalah makna, hiasannya adalah i’râb dan aturannya adalah kebenaran.
Pengaruh ucapan pada pendengar tergantung pada jiwa pembicara.  Jika ucapan tersebut muncul dari jiwa yang kuat, maka akan memberikan kesan yang kuat.  Dan jika muncul dari jiwa yang lemah, maka akan memberikan kesan yang lemah.  Oleh karena itu, sebelum berbicara manusia harus memperhatikan keadaan jiwanya agar kalimat yang ia ucapkan muncul dari jiwa yang tenang (sakînah).

0 komentar

Posting Komentar